TEMPO.CO, Jakarta -Pemahaman anggota DPRD DKI Jakarta soal tarif kereta moda raya terpadu alias tarif MRT Jakarta ternyata tak sama. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono menganggap keputusan tarif sebesar Rp 8.500 adalah angka rata-rata.
Keputusan itu diambil dalam rapat pimpinan gabungan (rapimgab) yang juga dihadiri Gembong pada Senin, 25 Maret 2019.
Baca : Tarif MRT Diributkan, Fraksi Partai NasDem: Sejak Kapan Ketua DPRD Jadi Penentunya?
Keputusan sahnya bahwa tarif MRT Rp 8.500 per 10 kilometer. Nilai ini berbeda dengan usulan pemerintah daerah, yaitu rata-rata Rp 10 ribu.
"Jadi disimulasikan oleh pemrpov adalah tarif rata-rata Rp 10 ribu dengan asumsi subsidi kita sebesar Rp 572 miliar. Kalau rata-rata itu diturunakn berarti subsidinya bertambah," kata Gembong saat dihubungi Tempo, Rabu, 27 Maret 2019.
Dengan perubahan besaran tarif, Gembong berujar, pemda harus membuat skema perhitungan baru. Namun, saat ini Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi memutuskan, besaran tarif MRT tetap sesuai keputusan rapimgab, tapi realisasinya menggunakan tabel hitung-hitungan pemda. Tabel itu masih menggunakan asumsi tarif rata-rata Rp 10 ribu.
Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) DPRD Bestari Barus menyampaikan, tarif per kilometer seharusnya berubah dari Rp 1 ribu (usulan pemda) menjadi Rp 600 atau Rp 700. Itu jika implementasi tarif mengikuti keputusan rapimgab.
Sepemahaman Bestari, Rp 8.500 adalah tarif maksimal yang dipungut dari penumpang naik Lebak Bulus dengan tujuan Bundaran HI. Bila penumpang turun di stasiun lain, maka biaya yang dikeluarkan kurang dari Rp 8.500.